Era teknologi informasi seperti pedang bermata dua, disatu sisi kita terbantu dengan kemudahan akses informasi dalam satu genggaman, disisi lain riuhnya informasi yang bertebaran dimana-mana membuat kita kesulitan untuk menyaring mana yang perlu kita ambil dan abaikan.
Berbagai macam platform tersaji tidak hanya untuk muda-mudi, tetapi bagi siapa saja yang haus akan eksistensi. Tidak ada parameter yang jelas akan nilai sebuah informasi, semua dilahap dengan cepat dengan bermodalkan viral. Akibatnya, setiap orang berlomba-lomba menebar konten apapun asal bisa menaiki tangga paling atas kepopuleran.
Semakin ramai, semakin baik. Tak peduli seberapa besar nilai yang diberikan dari sebuah konten, babat habis saja asalkan banyak yang menonton meskipun mungkin isinya tak bermakna.
Alih-alih memilah informasi, konten viral justru menjadi sebuah standar kehidupan baru. Standar baru ini makin memperkaya tuntutan sosial yang beredar di masyarakat. Contohnya seperti membeli barang branded hanya untuk mengikuti tren, berlomba-lomba menciptakan kehidupan ‘ideal’ di sosial media agar terlihat sempurna, padahal mungkin dalam kehidupan nyata ya biasa saja.
Sebuah kewajaran ketika seseorang ingin terlihat sempurna saat di sosial media, sah-sah saja karena sosial media adalah tempat dimana orang-orang ingin menampilkan sisi terbaik dari dirinya. Hal yang menjadi tidak wajar adalah ketika semua yang tampil pada sosial media dijadikan patokan hidup yang tidak semuanya bisa kita tiru.
Babak Baru Tuntutan Sosial
Dengan liarnya arus informasi yang beredar dari berbagai macam media teknologi yang ada, membuat tuntutan sosial menjadi lebih kental. Manusia cenderung untuk membanding-bandingkan kehidupannya dengan orang lain. Adanya sosial media membantu mempercepat tersampaikannya informasi, semua hal mudah diakses dalam waktu yang singkat.
Segala hal yang tergambar dalam media sosial, seolah-olah seperti standar kehidupan yang harus dicapai. Padahal, kita paham bahwa kondisi satu orang dengan yang lain sangat berbeda. Tapi, seringkali tanpa sadar kita membanding-bandingkan kehidupan orang lain dengan apa yang sedang kita jalani saat ini. Apalagi jika melihat teman sebaya sudah mencapai ini itu, dan kita masih diam ditempat. Melihat si A dengan karirnya yang melesat, si B dengan keluarga yang harmonis, si C dengan anak yang lucu, si D yang baru saja menikah, dan kita yang seperti tak memiliki apa-apa.
Perasaan resah dan cemburu menggelayut, membuat hati rasanya terpenjara dalam ruang hampa. Tak bisa apa-apa, bergerak sulit, diam pun sakit. Harus mulai darimana? Sedangkan untuk berjalan saja rasanya tertatih. Perasaan-perasaan cemas ini kian akrab karena salah satunya kita dengan mudah melihat kehidupan orang lain, melalui berbagai macam media. Pikiran-pikiran manusia cenderung mudah untuk membandingkan apa yang dilihat dan apa yang sedang dijalani. Sehingga, hal ini menimbulkan dua reaksi.
Menjadi bersemangat dan termotivasi, atau semakin terpuruk dan merasa tidak berarti. Gawatnya, semakin lama dibiarkan kita akan meyakini apa yang kita konsumsi sehari-hari. Jika asupan kita adalah hal-hal yang positif, maka gerak tubuh kita akan membawa pada hal-hal produktif dan bermanfaat. Namun, jika sebaliknya siap-siap saja bertarung dengan kekhawatiran dan kecemasan sehingga timbul perasaan iri pada kehidupan orang lain.
Ternyata, tak semua yang serba cepat dan mudah itu baik. Nyatanya, semakin cepat informasi beredar orang-orang menjadi mudah teracuni pada hal-hal yang menimbulkan persepsi. Asumsi-asumsi terbuat atas imaji yang kita buat sendiri, sepertinya hidup orang lain sempurna padahal ya biasa saja di kehidupan nyata. Manusia cenderung ingin menampilkan sisi terbaiknya dan menutupi kelemahannya. Bohong jika ada orang yang tidak suka apresiasi, sebuah hal normal ketika orang ingin dianggap ada dan diakui pencapaiannya. Maka dari itu, semua orang berlomba untuk menunjukkan sisi terbaik dalam kehidupannya dan menutup rapat sisi kelam yang ada dalam dirinya.
Lalu, mengapa seringkali kita justru percaya pada hal-hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan? Kita terlarut dalam cerita orang lain, sampai lupa pada cerita diri sendiri. Mungkin kita merasa tidak beruntung dan tak punya privilege tapi apakah benar alasannya karena itu? Atau kita saja yang tidak pandai melihat keberuntungan pada hal-hal kecil yang sehari-hari kita lewati? Kita sibuk mengurusi hidup orang lain, lupa pada diri sendiri.
Tuntutan sosial akan selalu ada dan hal ini merupakan faktor eksternal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita tak bisa meminta orang lain untuk tidak membagikan momen bahagianya, pencapaiannya, atau kehidupannya pada media sosial karena itu adalah hak mereka. Tetapi, kita bisa mengendalikan diri kita agar tidak mudah terbawa arus dan menuntut hal-hal diluar batas kemampuan kita. Lalu, apa hal-hal yang bisa kita lakukan agar tak terjebak dalam pusaran standar sosial yang ada?
Menyadari dan Menerima Keadaan

Satu hal yang mudah namun seringkali kita lupakan adalah menyadari dan menerima kondisi yang terjadi pada diri kita. Sadari bahwa setiap orang menjalani kehidupan dengan kondisi yang berbeda, termasuk kita.
Terima bahwa tidak semua yang orang lain mampu lakukan sekarang, bisa kita lakukan juga. Kondisi setiap orang berbeda, masalah yang dihadapi berbeda, jalan yang harus dilalui juga berbeda, tidak ada yang sama. Sehingga, ketika kita dihadapkan dengan berbagai tuntutan sosial yang ada, kita bisa dengan tenang menepis dan yakin pada proses yang sedang kita jalani sekarang.
Sesungguhnya, tak ada template yang pasti dalam kehidupan. Tidak ada urutan pasti dalam hidup, seperti setelah lulus SMA harus kuliah, bekerja, beli rumah, menikah, punya anak, punya cucu, punya cicit, tak ada. Jangan merasa gagal ketika tidak mengikuti apa yang biasanya dilakukan oleh orang pada umumnya, karena kita memiliki proses masing-masing.
Menyelami Diri
Daripada sibuk melihat kehidupan kanan-kiri, cobalah untuk tenggelam pada dirimu sendiri. Mungkin sudah lama kita tidak berdialog dengan diri sendiri, bertanya apa yang hal-hal yang sebenarnya ingin kita lakukan? Sudah sampai mana kita memperjuangkan mimpi yang mulai terabaikan? Jika belum tahu harus berbuat apa, potensi apa yang dimiliki, atau belum menemukan arah maka mulailah untuk mencari.
Mencoba hal-hal yang belum pernah dicoba, memberikan kesempatan pada diri kita untuk mengenal lebih jauh potensi yang mungkin belum kita sadari. Selami diri kita sampai dasar, sampai kita paham apa yang kita mau, sampai kita tahu betul bagaimana batasan antara kehidupan kita dan orang lain, sampai kita tak peduli pada hingar bingar dan fokus pada apa yang ada di dalam, bukan di luar.
Mungkin pada awalnya sulit dan bingung harus mulai darimana. Tapi, kita bisa mulai dari hal-hal yang paling mudah seperti memetakan apa yang membuat kita tertarik, apa yang membuat kita bersemangat setiap kali memikirkannya. Coba lakukan, ulangi dan ulangi. Jika kamu menemukan kenikmatan didalamnya, mungkin bisa jadi itulah jalannya.
Membangun Prinsip dan Arah Hidup
Tentukan arah, jika bepergian saja kita harus tahu mau kemana, apalagi hidup kita. Hidup tanpa tujuan seperti terombang-ambing dalam kapal dan pasrah kemana arus berjalan. Padahal, Tuhan memberikan ruang kendali untuk kita pada hal-hal yang ingin kita ubah. Miliki prinsip yang kuat karena hanya orang-orang berprinsip yang tidak mudah digoyahkan.
Tentunya butuh waktu dan proses, tak mengapa daripada tidak sama sekali. Selain itu, kurangi untuk melihat kanan-kiri saat melaju. Sesekali tak apa, tapi yang terpenting adalah melihat pada diri sendiri. Sudah sejauh mana kita bertumbuh, seperti apa perubahan-perubahan yang kita ciptakan hingga akhirnya menjadikan kita manusia yang lebih baik. Dulu kita sering diajari untuk berlomba dengan orang lain, tapi kali ini saatnya untuk berlomba dengan diri kita sendiri.
Jalani yang Saat ini di depan Mata, Sembari Menjalankan Rencana
Tidak semua orang beruntung menjalani kehidupan yang diinginkannya, tapi semua orang berhak untuk memperjuangkan hidupnya. Mungkin kita dihadapkan pada kondisi yang tidak ideal, sehingga membuat kita harus menyelesaikan satu per satu masalah yang datang kepada kita. Tidak mengapa, karena hal itu juga merupakan proses untuk sampai pada tujuan kita. Satu hal yang perlu diingat adalah suatu saat nanti, pada waktu yang tepat, kita akan sampai pada hal-hal yang kita perjuangkan. Jadi, jangan berkecil hati karena tidak semua hal harus terwujud sekarang, semua butuh waktu.
….
Banyaknya tuntutan sosial terkadang membuat kita merasa tertekan dan berusaha mengejar berbagai macam hal. Tetapi, kita perlu sadar bahwa tidak semua yang orang lain lakukan, harus kita lakukan juga. Kita bergerak sesuai kebutuhan kita, berproses sesuai waktu kita. Tidak ada urutan baku dalam menjalani kehidupan karena masing-masing orang memiliki waktunya sendiri untuk bersinar.
GIPHY App Key not set. Please check settings